Letusan tahun 1815 Gunung Tambora

Kronologi letusan

Daerah yang diperkirakan terkena abu letusan Tambora tahun 1815. Daerah merah menunjukkan ketebalan abu vulkanik. Abu tersebut mencapai pulau Kalimantan dan Sulawesi (ketebalan 1 cm).

Gunung Tambora mengalami ketidakaktifan selama beberapa abad sebelum tahun 1815, dikenal dengan nama gunung berapi tidur, yang merupakan hasil dari penyejukan hydrous magma di dalam kebuk magma yang tertutup.[9] Di dalam kebuk magma dalam kedalaman sekitar 1,5-4,5 km, larutan padat dari cecair magma bertekanan tinggi terbentuk pada saat penyejukan dan pengkristalan magma. Tekanan di bilik makmal sekitar 4-5 kbar muncul dan suhu sebesar 700 °C-850 °C.[9]

Pada tahun 1812, kaldera gunung Tambora mulai bergemuruh dan menghasilkan awan hitam.[4] Pada 5 April 1815, letusan terjadi, diikuti dengan suara guruh yang terdengar di Makassar, Sulawesi (380 km dari gunung Tambora), Batavia (kini Jakarta) di pulau Jawa (1.260 km dari gunung Tambora), dan Ternate di Maluku (1400 km dari gunung Tambora). Suara guruh ini terdengar sampai ke pulau Sumatera pada tanggal 10-11 April 1815 (lebih dari 2.600 km dari gunung Tambora) yang awalnya dianggap sebagai suara tembakan senapang.[18] Pada pagi hari tanggal 6 April 1815, abu vulkanik mulai jatuh di Jawa Timur dengan suara guruh terdengar sampai tanggal 10 April 1815.

Pada pukul 7:00 malam tanggal 10 April, letusan gunung ini semakin kuat.[4] Tiga lajur api terpancar dan bergabung.[18] Seluruh pergunungan berubah menjadi aliran besar api.[18] Batuan apung dengan diameter 20 cm mulai menghujani pada pukul 8:00 malam, diikuti dengan abu pada pukul 9:00-10:00 malam. Aliran piroklastik panas mengalir turun menuju laut di seluruh sisi semenanjung, memusnahkan desa Tambora. Ledakan besar terdengar sehingga petangl 11 April. Abu menyebar sampai Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Bau "nitrat" tercium di Batavia dan hujan besar yang disertai dengan abu tefrit jatuh, akhirnya reda antara tanggal 11 dan 17 April 1815.[4]

Letusan pertama terdengar di pulau ini pada petang 5 April, mereka menyedarinya setiap seperempat jam, dan terus berlanjut dengan jarak waktu sampai hari selanjutnya. Suaranya, pada contoh pertama, hampir dianggap suara meriam; sangat banyak sehingga sebuah pasukan tentera bergerak dari Jogjakarta, dengan perkiraan bahawa pos terdekat diserang, dan sepanjang pesisir, perahu-perahu dikirimkan pada dua kesempatan dalam pencarian sebuah kapal yang semestinya berada dalam keadaan darurat.

Letusan tersebut masuk dalam skala tujuh pada skala Indeks Letupan Gunung Berapi.[19] Letusan ini empat kali lebih kuat daripada letusan gunung Krakatau tahun 1883. Diperkirakan 100 km³ piroklastik trakiandesit dikeluarkan, dengan perkiraan massa 1,4×1014 kg.[6] Hal ini meninggalkan kaldera dengan ukuran 6-7 km dan kedalaman 600-700 m.[4] Massa jenis abu yang jatuh di Makassar sebesar 636 kg/m².[20] Sebelum letusan, gunung Tambora memiliki ketinggian kira-kira 4.300 m,[4] salah satu gunung tertinggi di Indonesia. Setelah letusan, tinggi gunung ini hanya setinggi 2.851 m.[21]

Letusan Tambora tahun 1815 adalah letusan terbesar di sejarah.[4][6] Letusan gunung ini terdengar sejauh 2.600 km, dan abu jatuh setidaknya sejauh 1.300 km.[4] Kegelapan terlihat sejauh 600 km dari puncak gunung selama lebih dari dua hari. Aliran piroklastik menyebar setidaknya 20 km dari puncak.

Akibat

Semua tumbuh-tumbuhan di pulau hancur. Pohon yang tumbang, bercampur dengan abu batu apung masuk ke laut dan membentuk rakit dengan jarak lintas melebihi 5 km.[4] Rakit batu apung lainnya ditemukan di Lautan Hindi, di dekat Kolkata pada tanggal 1 dan 3 Oktober 1815.[6] Awan dengan abu tebal masih menyelimuti puncak pada tanggal 23 April. Ledakan berhenti pada tanggal 15 Julai, walaupun emisi asap masih terlihat pada 23 Ogos. Api dan gempa susulan dilaporkan terjadi pada bulan Ogos 1819, empat tahun setelah letusan.

Dalam perjalananku menuju bahagian barat pulau, aku hampir melewati seluruh Dompo dan banyak bahagian dari Bima. Kesengsaraan besar-besaran terhadap penduduk yang berkurang memberikan pukulan hebat terhadap penglihatan. Masih terdapat mayat di jalan dan tanda banyak lainnya telah terkubur: desa hampir sepenuhnya ditinggalkan dan rumah-rumah rubuh, penduduk yang selamat kesulitan mencari makanan.
...
Sejak letusan, diare menyerang warga di Bima, Dompo, dan Sang’ir, yang menyerang jumlah penduduk yang besar. Diduga penduduk minum air yang terkontaminasi abu, dan kuda juga meninggal, dalam jumlah yang besar untuk masalah yang sama.
—Letnan Philips diperintahkan Sir Stamford Raffles untuk pergi ke Sumbawa.

Tsunami besar menyerang pantai beberapa pulau di Indonesia pada tanggal 10 April, dengan ketinggian di atas 4 m di Sanggar pada pukul 10:00 malam.[4] Tsunami setinggi 1-2 m dilaporkan terjadi di Besuki, Jawa pasukanur sebelum tengah malam dan tsunami setinggi 2 m terjadi di Maluku.

Tinggi asap letusan mencapai stratosfera, dengan ketinggian lebih dari 43 km.[6] Partikel abu jatuh 1 sampai 2 minggu setelah letusan, tetapi terdapat partikel abu yang tetap berada di atmosfera bumi selama beberapa bulan sampai beberapa tahun pada ketinggian 10-30 km.[4] Angin bujur menyebarkan partikel tersebut di sekeliling dunia, membuat terjadinya fenomena. Matahari terbenam yang berwarna dan senja terlihat di London, Inggeris antara tanggal 28 Jun dan 2 Julai 1815 dan 3 September dan 7 Oktober 1815.[4] Pancaran cahaya langit senja muncul berwarna orange atau merah di dekat ufuk langit dan ungu atau merah muda di atas.

Jumlah perkiraan kematian bervariasi, tergantung dari sumber yang ada. Zollinger (1855) memperkirakan 10.000 orang meninggal kerana aliran piroklastik. Di pulau Sumbawa, terdapat 38.000 kematian kerana kelaparan, dan 10.000 lainnya kerana penyakit dan kelaparan di pulau Lombok.[22] Petroeschevsky (1949) memperkirakan sekitar 48.000 dan 44.000 orang terbunuh di Sumbawa dan Lombok.[23] Beberapa pengarang menggunakan figur Petroeschevsky, seperti Stothers (1984), yang menyatakan jumlah kematian sebesar 88.000 jiwa.[4] Tanguy (1998) mendakwa figur Petroeschevsky tidak dapat ditemukan dan berdasarkan rujukan yang tidak dapat dilacak.[7] Tanguy merevisi jumlah kematian berdasarkan dua sumber, sumber dari Zollinger, yang menghabiskan beberapa bulan di Sumbawa setelah letusan dan catatan Raffles.[18] Tanguy menunjukkan bahawa terdapat banyak korban di Bali dan Jawa pasukanur kerana penyakit dan kelaparan. Diperkirakan 11.000 meninggal kerana pengaruh gunung berapi langsung dan 49.000 oleh penyakit epidemik dan kelaparan setelah letusan.[7] Oppenheimer (2003) menyatakan jumlah kematian lebih dari 71.000 jiwa seperti yang terlihat di jadual di bawah.[6]

Perbandingan letusan gunung Tambora dan letusan gunung lainnya
LetusanTahunTinggi asap (km) VEI Perubahan musim panas Belahan bumi utara (°C)Kematian
Taupo181517?tidak diketahui
Baekdu969256–7??
Kuwae1452?6−0,5?
Huaynaputina1600466−0,8≈1400
Tambora1815437−0,5> 71.000
Krakatau1883256−0,336.600
Santamaría1902346tidak terdapat perubahan7.000-13.000
Katmai1912326−0,42
Gunung St. Helens1980195tidak terdapat perubahan57
El Chichón1982324–5?> 2.000
Nevado del Ruiz1985273tidak terdapat perubahan23.000
Pinatubo1991346−0,51202
Sumber: Oppenheimer (2003),[6] dan Smithsonian Global Volcanism Program untuk VEI.[24]

Pengaruh global

Jumlah konsentrasi sulfat di inti ais dari Greenland tengah, tarikh tahun dihitung dengan variasi isotop oksigen musiman. Terdapat letusan yang tidak diketahui pada tahun 1810-an. Sumber: Dai (1991).[25]

Letusan gunung Tambora tahun 1815 mengeluarkan sulfur ke stratosfera, menyebabkan penyimpangan iklim global. kaedah berbeza telah memperkirakan banyaknya sulfur yang dikeluarkan selama letusan: kaedah petrologi, sebuah pengukuran berdasarkan pengamatan anatomi, dan kaedah konsentrasi sulfat inti ais, menggunakan ais dari Greenland dan Antartika. Figur beragam tergantung dari kaedah, berjarak dari 10 Tg S sampai 120 Tg S.[6]

Pada musim luruh dan musim panas tahun 1816, sebuah kabut kering kelihatan di timur laut Amerika Syarikat. Kabus tersebut memerahkan dan mengurangkan cahaya matahari, seperti bintik pada matahari yang terlihat dengan mata kasar. Baik angin atau hujan tidak dapat menghilangkan "kabus" tersebut. "Kabus" tersebut dikenal pasti sebagai kabus aerosol sulfat stratosfera.[6] Pada musim panas 1816, negara di Hemisfera Utara menderita akibat keadaan cuaca yang berubah, disebut sebagai Tahun tanpa musim panas. Suhu normal dunia berkurangan sekitar 0,4-0,7 °C,[4] cukup untuk menyebabkan masalah pertanian di dunia. Pada 4 Jun 1816, cuaca penuh ais dilaporkan di Connecticut, dan pada hari berikutnya, hampir seluruh New England diselubungi oleh dingin. Pada 6 Jun, salji turun di Albany, New York, dan Dennysville, Maine.[6] Keadaan serupa muncul untuk setidaknya tiga bulan dan menyebabkan kegagalan penuaian di Amerika Utara. Kanada mengalami musim panas yang sangat dingin. Salji setebal 30 cm berhimpun di dekat Kota Quebec dari 6 hingga 10 Jun 1816.

1816 merupakan tahun paling dingin kedua di Belahan Bumi Utara sejak 1400 Masihi, setelah letusan gunung Huaynaputina di Peru tahun 1600.[19] Tahun 1810-an adalah dekad paling dingin dalam rekod sebagai hasil dari letusan Tambora tahun 1815 dan lainnya menghadapi letusan terjadi antara tahun 1809 dan tahun 1810. Perubahan suhu permukaan selama musim panas tahun 1816, 1817 dan tahun 1818 sebesar -0,51, -0,44 dan -0,29 °C,[19] dan juga musim panas yang lebih dingin, bahagian dari Eropah mengalami ribut salji yang lebih deras.

Latar belakang perubahan iklim dipersalahkan atas berlakunya wabak tifus di tenggara Eropah dan Laut Tengah bahagian timur di antara tahun 1816 dan tahun 1819.[6] Banyak ternakan mati di New England semasa musim dingin tahun 1816-1817. Suhu udara yang dingin dan hujan besar menyebabkan gagal panen di Kepulauan Britain. Keluarga-keluarga di Wales mengungsi dan mengemis untuk makanan. Kelaparan merata di Ireland utara dan barat daya kerana gandum, haver dan kentang mengalami gagal panen. Krisis terjadi di Jerman, harga makanan naik dengan tajam. Akibat kenaikan harga yang tidak diketahui menyebabkan terjadinya demonstrasi di depan pasar dan toko roti yang diikuti dengan kerusuhan, pembakaran rumah dan perampokan yang terjadi di banyak kota-kota di Eropah. Hal ini adalah kelaparan terburuk yang terjadi pada abad ke-19.[6]

Rujukan

WikiPedia: Gunung Tambora http://www.bloomberg.com/apps/news?pid=10000080&si... http://www.iht.com/articles/2006/03/01/healthscien... http://news.nationalgeographic.com/news/2006/02/02... http://www.peakbagger.com/peak.aspx?pid=11008 http://www.worldislandinfo.com/POPULATV2.htm http://www.zollinger-genealogy.com/FamousZollinger... http://e-publishing.library.cornell.edu:80/Dienst/... http://volcano.und.nodak.edu/vwdocs/volc_images/so... http://www.volcano.si.edu/world/largeeruptions.cfm http://www.volcano.si.edu/world/volcano.cfm?vnum=0...